ARTIKEL
selasa 16 Pebruari 2016
Sejarah
Islam sekarang telah berjalan lebih dari empat belas abad lamanya. Sebagaimana
halnya sejarah setiap umat, sejarah Islam pun mengalami pasang surut. Pada
periode tertentu Islam mengalami pertumbuhan dan perkembangan, pada periode
selanjutnya Islam mengalami kemajuan dan kejayaan dan pada periode lain Islam
mengalami kemunduran bahkan kehancuran. Satu di antara beberapa sejarah
peradaban Islam yang cukup menarik untuk bahan kajian ilmiah, yaitu masa
pertengahan khususnya pada abad ke-17, karena pada abad tersebut terdapat tiga
kerajaan besar, yaitu Kerajaan Utsmani di Turki, Kerajaan Syafawi di Persia,
dan Kerajaan Mughal di India, yang
mana keadaan politik umat islam secara keseluruhan baru mengalami
kemajuankembali setelah muncul dan berkembangnya ketiga kerajaan besar
tersebut. Kerajaan ustsmani, disamping yang pertama berdiri, juga yang terbesar
dan paling lama bertahan dibandingkan dua kerajaan lainnya.
A. KERAJAAN
UTSMANI DI TURKI
1. Proses Terbentuknya Kerajaan
Utsmani di Turki
Kerajaan
Turki Utsmani berdiri tahun 1281. Pendiri kerajaan ini adalah bangsa Turki dari
kabilah Oghuz yang mendiami daerah mongol dan daerah utara negeri Cina, dalam jangka waktu kira-kira tiga abad, mereka
pindah keturki kemudian Persia dan irak. Meraka masuk islam sekitar abad
kesembilan atau kesepuluh, ketika meraka menetap di asia tengah dibawah tekanan
serangan mongol pasa abad ke 13 M.
Sultan
Alaudin yang sedang berperang dengan Bizantium. Berkat bantuan dari Erthogril,
pasukan Sultan Alaudin mendapatkan kemenangan, sehingga Erthogril mendapat
hadiah sebidang wilayah di perbatasan Bizantium
pada saat itulah meraka terus membina wilayah barunya dan Erthugril pun
meninggal dunia pada tahun 1289 dan kepemimpinan dilanjutkan pada putranya yaitu
Utsman bin Erthogril, putra Erthogrul inilah yang dianggap pendiri kerajaan
usmani. Usman memerintah antara tahun 1290 M dan 1326 sebagaimana ayahnya , ia banyak berjasa pada
sultan alaudin II dengan keberhasilannya
menduduki benteng -benteng bizantium yang berdekatan dengan kota broessa pada
tahun 1300 M. bangsa mongol menyerang kerajaan Seljuk dan sultan alaudin II
terbunuh dan akibatnya dinasti ini terpecah-pecah menjadi sejumlah kerajaan
kecil, Dalam kondisi kehancuran Seljuk
inilah Utsman mengklaim kemerdekaan sekaligus memproklamirkan berdirinya
kerajaan Turki Utsmani dan berkuasa penuh terhadap daerah yang didudukinya dan
mengadakan ekspansi dari daerah yang sudah di taklukkan dari daerah Bizantium. Sejak itulah
kerajaan usmani berdiri dan penguasa pertamanya adalah usman yang sering
disebut Usman I. I ( Yatim, 2015: 130).
Setelah
usman mengumumkan bahwa dirinya adalah padisyah al usman (raja besar
keluarga usman) pada tahun 699 M, setapak demi setapak kerajaan usmani
diperluas, dan menyerang daerah
perbatasan wilayah Bizantium dan menaklukkan kota Brousse pada tahun
1317 M. kemudian pada tahun 1326 M dijadikan sebagai ibu kota kerajaan. Jika
kita menapaki sejarah, kerajaan Turki Utsmani merupakan kerajaan terbesar dan
paling lama berkuasa. Dan pada masa
Orkhan (726 H/1326 M – 761 H/ 1359 M) kerajaan turki usmani dapat menaklukkan
Azmir (Shirna) tahun 1327 M, Gallipoli (1356 M ). Daerah ini adalah bagian
benua eropa yang pertama kali diduduki kerajaan Usmani. Ketika Murad I,
Pengganti Orkhan, berkuasa (761 H/ 1359 M – 789 H/ 1389 M) saat itulah keamanan
dalam negeri ditetapkan.
Dengan
adanya berbagai ekspansi, menyebabkan ibukota Dinasti Utsmani berpindah-pindah.
Sebagai contoh, sebelum Utsman I memimpin Dinasti Utsmani, ia mengambil kota
Syukud sebagai ibukotanya. Kemudian setelah penguasa Dinasti Utsmani dapat
menaklukkan Broessa pada tahun 1317, maka pada tahun 1326 Broessa dijadikan
ibukota pemerintahan. Hal ini berlangsung sampai pemerintahan Murad I.
ternyata, di masa Murad I kota Adrianopel yang ditaklukkannya itu
dijadikan sebagai ibukota kerajaan barunya. Sampai dikalahkannya Bizantium oleh Muhammad II yang biasa disebut “Muhammad
Al Fatih”, yang saat itu turki utsmani
megalami kemajuan dan ditaklukkanya
Konstantinopel pada tahun 1453 M. olehnya, dengan terbukanya kostantinopel
sebagai benteng pertahanan terkuat kerajaan Bizantium, maka lebih mudah arus
ekspansi masuk ke banua Eropa. Akan tetapi ketika sultan salim (1512-1520)
M. naik tahta ia mengalihkan perhatian
kearah timur dengan menaklukkan Persia, Syria, dan dinasti mamalik di mesir,
usaha sultan salim dikembangkan oleh sultan sulaiman al- Qanuni( 1520- 1566 M).
ia tidak mengarahkan ekspansinya ke arah timur atau barat, tapi seluruh wilayah
yang berada disekitar turki utsmani merupakan obyek yang menggoda hatinya. Sulaiman berhasil menundukkan irak, belgrado,
pulau rodhes, tunis Budapest dan yaman. Demikian luas wilayah turki utsmani
pada amsa itu mencakup asia kecil, Armenia, irak , siria hejaz da yaman di asia ; mesir , libia, Albania,
dan aljaza’ir di afrika; Bulgaria, yunani, Yugoslavia, Albania, hongaria dan Rumania di Eropa.
Kemajuan
dan perkembangan ekspansi kerajaan utsmani yang demikian luas dan
berlangsung dengan cepat itu diikuti pula oleh kemajuan- kemajuan dalam bidang-
bidang kehidupan lainnya, yang terpenting diantaranya sebagai berikut.
A.2. Perkembangan dan Kemajuan Peradaban Kerajaan Turki
Utsmani
a. Bidang
Militer dan Perluasan Wilayah
para pemimpin kerajaan usmani pada
masa –masa pertama dipimpin oleh orang –orang kuat, sehinnga kerajaan dapat
melakukan ekspansi dengan cepat dan kuat, meskipun demikian, kemajuan kerajaan
usmani mencapai keemasannya bukan semata- mata karena keunggulan politiknya
para pemimpin. Masih banyak factor lain yang mendukung keberhasilan ekspansi
tersebut, yang terpenting diantaranya adalah keberanian, keterampilan,
ketangguhan dan kekuatan militernya yang sanggup bertempur kapan dan dimana
saja.
Setelah
Utsman I mengumumkan dirinya sebagai Padisyah Al Utsman (raja besar keluarga
utsman) tahun 699 H (1300 M), setapak demi setapak mengadakan perluasan wilayah
dengan mmperkuat kekuatan militernya. Dia mengadakan perombakan besar- besaran
dalam tubuh militer, pembaruan dalam tubuh organisasi militer yang dilakukan
oleh Orkhan bukan hanya bentuk mutasi ponsel- ponsel pimpinan, akan tetapim
juga diadakan perombakan dalam
keanggotaan. Bangsa- bangsa non- Turki dimasukkan sebagai anggota, bahkan anak-
anak kecil kristen diasramakan dan dibimbing dengan suasan islam untuk
dijadikan prajurit. pusat pendidikan dan pelatihan militer ini terus dijalankan
sehingga berhasil dan terbentuklah sebuah prajurit dan kesatuan militer baru yang
disebut Yeniseri atau Inkisariyah (arab), kelompok inilah yang mengubah
kerajaan usmani yang baru lahir menjadi mesin yang paling kuat dan memberikan
dorongan yang amat besar dalam penaklukan negeri- negeri Non-Muslim. seperti
menaklukan Andriannopel, Macedonia, Bulgaria, dan Serbia. Dari para penguasa
yang memimpin Turki Utsmani, Sultan Muhammad
II yang layak menyandang gelar Al
Fatih
Disamping sudah terbentuknya
kekuatan Yeniseri ada lagi prajurit dari kaum feodal yang dikirim pada pemerintah pusat. Pasukan
ini disebut kelompok militer Thaujiah angkata lautpun dibenahi, karena ia mempunyai
peranan besar dalam perjalanan ekspansi turki utsmani, sehingga pasa abad ke
16, angkatan laut turki utsmani mencapai puncak kejayaannya. Yang dengan
kekuatan militetrnya dengan cepat menguasai wilayah yang amat luas baik di
asia, Eropa Maupun Afrika. Dan factor utama yang mendorong kemajuan dilapangan
kemiliteran ini ialah tabi’at bangsa turki itu sendiri yang bersifat militer,
berdisiplin, dan patuh terhadap peraturan. Keberhasilan ekspansi tersebut
dibarengi pula dengan terciptanya jaringan pemerintahan yang teratur. Dan untuk
mengatur pemerintahan dimasa sultan sulaiman, disusun kitab undang-
undang(Qanun) yang diberi nama multaqa al abhor yang menjadi pegangan
hokum bagi kerajaan turki utsmani sampai datangnya reformasi pada abad ke- 19,
karena jasa sultan sulaiman yang amat berharga, maka diberi gelar al-
Qanuni.
§ Ada
lima faktor yang menyebabkan kesuksesan Dinasti Utsmani dalam perluasan wilayah
Islam.
(1)
kemampuan orang-orang Turki dalam strategi perang terkombinasi dengan cita-cita
memperoleh
Ghanimah (harta rampasan
perang).
(2) sifat dan karakter orang Turki
yang selalu ingin maju dan tidak pernah diam serta gaya hidupnya yang
sederhana, sehingga memudahkan untuk tujuan penyerangan.
(3)
semangat jihad dan ingin mengembangkan Islam.
(4) letak Istambul yang sangat
strategis sebagai ibukota kerajaan juga sangat menunjang kesuksesan perluasan
wilayah ke Eropa dan Asia. Istambul terletak antara dua benua dan dua selat
(selat Bosphaoras dan selat Dardanala), dan pernah menjadi pusat kebudayaan
dunia, baik kebudayaan Macedonia, kebudayaan Yunani maupun kebudayaan Romawi
Timur.
(5) kondisi kerajaan-kerajaan di
sekitarnya yang kacau memudahkan Dinasti Usmani mengalahkannya. (
Van Hoeve: 1990: 60)
b. Bidang Pemerintahan
Raja-raja Turki Utsmani bergelar
Sultan dan Khalifah sekaligus. Sultan menguasai kekuasaan duniawi dan khalifah
berkuasa di bidang agama atau spiritual/ukhrawi. Mereka mendapatkan kekuasaan
secara turun temurun. Tetapi tidak harus putra pertama yang menjadi pengganti
sultan terdahulu, bahkan dalam perkembangannya pergantian kekuasaan itu juga
diseerahkan kepada saudara sultan bukan kepada anaknya. (Mughni,1997: 53) Dalam
struktur pemerintahan, sultan sebagai penguasa tertinggi dibantu oleh shadr al
a’zham (perdana menteri) yang membawahi pasya (gubernur) , dan gubernur
mengepalai daerah tingkat I. dibawahnya terdapat beberapa orang al zanaziq atau
al ‘alawiyah (bupati). Untuk mengatur pemerintahan negara , di masa sultan
Sulaiman I disusun undang-undang (qanun) yang bernama Multaqa al Abhur, yang
menjadi pegangan hukum bagi kerajaan Turki Utsmani sampai datangnya reformasi
pada abad ke 19. Karena jasa Sultan Sulaiman I, diujung namanya diberi gelar al
Qanuni. ( Yatim, 2010: 135)
c. Bidang Ilmu Pengetahuan, Kebudayaan dan Agama
Dalam bidang ilmu pengetahuan,
kerajaan Turki Usmani tidak menghasilkan karya-karya dan penelitian-penelitian
ilmiah seperti di masa Daulah Abbasiyah. Karena mereka lebih mengutamakan dalam
bidang militer dan perluasan wilayah, sehingga kita tidak dapati ilmuwan yang
terkenal dari Turki Utsmani. Sedangkan dalam bidang kebudayaan, kebudayaan
Turki Utsmani merupakan perpaduan antara kebudayaan Bizantium, Persia dan Arab.
Karena bangsa Turki sangat mudah berasimilasi dengan budaya asing. Bahkan
bahasa arab banyak dipakai di Asia Kecil yang mayoritas daerahnya dikuasai
Turki. Seperti seni arsitektur, Turki Usmani banyak meninggalkan karya-karya
agung berupa bangunan yang indah, seperti Mesjid Jami’ Muhammad al-Fatih,
mesjid agung Sulaiman dan Masjid Abu Ayyub al-Anshary dan masjid Aya Sophia
yang dulu asalnya dari gereja St. Sophia, merupakan peninggalan arsitektur yang
dikagumi sampai saat ini. (Thohir, 2004:187) Hoja Sinan (1490-1578 M) adalah
tokoh terbesar dalam bidang arsitektur ini. (Lapidus, 1999: 499), Untuk
kehidupan keagamaan, agama merupakan bagian dari sistem sosial politik Turki
Utsmani. Ulama mempunyai kedudukan tinggi dalam kehidupan negara dan
masyarakat. Mufti sebagai pejabat tinggi agama , tanpa legitimasi Mufti
keputusan hukum kerajaan tidak dapat berjalan. Pada masa ini tarekat berkembang
pesat. Al Bektasi dan Al Maulawi merupakan dua tarekat yang paling besar. Al
Bektasi berpengaruh terhadap tentara Yenisari, sedangkan Al Maulawi berpengaruh
besar terhadap kelompok penguasa sebagai imbangan dari kelompok Yenisari
Bektasi. ( Yatim, 2010: 136) .
Kajian-kajian
ilmu keagamaan, seperti fiqh, ilmu kalam, tafsir dan hadis boleh dikatakan
tidak mengalami perkembangan yang berarti.Para penguasa cenderung untuk
menegakkan satu paham (madzab) keagamaan dan menekan madzab lainnya. Sultan Abd
al Hamid II, misalnya fanatik terhadap aliran asy’ariyah. Untuk mempertahankan
madzabnya, ia memerintahkan Syaikh Husein Al Jisri menulis kitab Al Hushun Al
Hamidiyah (Benteng pertahanan Abdul Hamid).Akibat fanatik yang berlebihan
inilah, ijtihad menjadi tidak berkembang. Ulama hanya suka menulis buku dalam
bentuk syarah (penjelasan), dan
hasyiyah (catatan
pinggir) terhadap karya-karya klasik yang telah ada. (Yatim, 2010: 137)
Demikianlah kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh kerajaan Utsmani terutama di
bidang militer, karena tidak terlepas dari tabiat orang Turki yang terbiasa
hidup nomaden, jiwa militer, tangguh dan patuh terhadap pimpinan.
A.3. faktor-Faktor Kemajuan Dan kemunduran Turki Utsmani
Ø
faktor-Faktor Kemajuan
Pada abad XVI merupakan masa
keemasan kerajaan Turki Utsmani. Pada tahun 1517 Sultan Salim merebut Mesir
dari pemerintahan Mamalik yang sudah lemah. Setelah kemenangan Mohaec tahun
1526 M, sultan Sulaiman Yang Agung menundukkan sebagian besar Hungaria selama
satu setengah abad lebih. Di perbatasan timur, Syafawiyah yang syiah, saingan
berat kerajaan Turki Utsmani yang sunni, dapat ditaklukkan di Chaldiran pada
tahun 1514 M.
1. Tidak
adanya diskriminasi dari penguasa,
2. semua
pihak berhak mendapat kedudukan yang tinggi,
tidak terbatas pada kelompok tertentu saja.
3. Menggunakan
tenaga profesional dan terampil khususnya di bidang administrasi pemerintahan
serta kepengurusan organisasi yang cakap
4. Turki
memperlakukan para pendatang dan penduduk baru secara baik dalam kehidupan
beragama maupun bermasyarakat, sehingga mereka banyak yang tertarik memeluk
agama Islam.
5. Rakyat yang memeluk agama kristen hanya dibebani biaya perlindungan (jizyah) yang murah
dibanding di zaman Bizantium.
6. Turki
membebaskan rakyatnya untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya
masing-masing, bahkan kepada penduduk pendatang seperti waktu hari besar
kristen para tentara yeniseri menjaga gereja. (Thohir, 2004:190)
Ø
Faktor-Faktor Kemunduran Kerajaan
Turki Utsmani
Pada akhir kekuasaan Sulaiman
al-Qanuni I kerajaan Turki Usmani berada ditengah-tengah dua kekuatan monarki
Austria di Eropa dan kerajaan Safawi di Asia. Melemahnya kerajaan Utsmani
setelah wafatnya Sulaiman I dan digantikan oleh Salim II. Pengganti
kepemimpinan ini ternyata tidak mampu menghadapi kondisi tersebut. Pada awal
abad ke-19 para Sultan tidak mampu mengontol daerah-daerah kekuasaannya. Dan
melemahnya militer Turki Usmani berakibat munculnya
pemberontakan-pemberontakan. Beberapa daerah berangsur-angsur mulai memisahkan
diri dan mendirikan pemerintah otonom. Di Mesir, kelemahan-kelemahan kerajaan
Turki Usmani membuat Mesir bangkit kembali. Di bawah kepemimpinan Ali Bey, pada
tahun 1770 M., Mamalik kembali berkuasa di Mesir, sampai datangnya Napoleon
Bonaparte dari Prancis tahun 1798 M. (Hasan, 1967: 342) Demikian pula
pemberontakan-pemberontakan terjadi di Libanon dan Syiria, sehingga kerajaan
Turki Usmani mengalami kemunduran, bukan saja daerah-daaerah yang tidak
beragama Islam, tetapi juga di daerah-daerah yang berpenduduk muslim. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kemunduran kerajaan
Turki utsmani ada dua bagian faktor internal dan faktor eksternal, seperti
pendapat Ajib Thohir ;
A. Faktor
internal
1. luasnya
wilayah kekuasaan dan buruknya sistem pemerintahan yang ditangani oleh
orang-orang penerusnya yang kurang profesional, kurangnya keadilan serta
korupsi yang merajalela.
2. Heterogenitas
penduduk dan agama. Menurut Philip K Hitti, dalam Tarikh al Daulah al Islamiyah
menyatakan bahwa suatu negara yang landasan berdirinya untuk kepentingan
militer, bukan untuk kemashlahatan bangsa, tidak akan mampu menyatukan
keberagaman penduduk dan agama.
3. Kehidupan para penguasa yang suka bermewah-mewahan mengikuti gaya hidup orang barat dan
meninggalkan nilai-nilai Islam.
4. Merosotnya
perekonomian negara akibat peperangan yang berlangsung berabad-abad lamanya
B. Faktor Eksternal
1. Timbulnya
gerakan nasionalisme di kalangan bangsa-bangsa yang tunduk pada kerajaan Turki
Utsmani
2. Kemajuan teknologi di dunia barat, khususnya
di bidang persenjataan, sedangkan Turki mengalami stagnasi dalam bidang
teknologi senjata, sehingga selalu mengalami kekalahan
dalam setiap kontak senjata dengan
bangsa Eropa.(Thohir. 2004: 191-192) Sampai pada akhirnya pada tanggal 3 maret
1924, dengan tokoh reformisnya Mustafa Kemal Attaturk, secara resmi menghapus
lembaga kesultanan dan khilafah dari bumi Turki dan memproklamsikan negara
Republik Turki, sebagai negara sekuler dalam konstitusi. (Mughni. 1997: 161) Di
bawah ini adalah daftar sultan yang memerintah di Kesultanan Utsmaniyah sampai
berdirinya Turki sekuler.
B. KERAJAAN
SAFAWI DI PERSIA
Perkembangan
dan Kemajuan Peradaban Kerajaan Safawi
Perkembangan
dan kemajuan kerajaan safawi tidak serta merta dapat diraih ketika Syah Ismail
I memimpin (1501-1524 M), tapi kejayaan kerajaan Safawi baru terwujud pada masa
pemerintahan Syaikh Abbas yang Agung (1587-1628 M) raja yang kelima. Kemajuan
yang dicapai kerajaan Safawi meliputi beberapa bidang, antara lain:
1. Kemajuan
di bidang Politik
Kerajaan Safawi dan Turki
Utsmani sebelum abad ke-17 sudah saling bermusuhan dan Safawi banyak mengalami
kekalahan, namun setelah Abbas I naik tahta kerajaan Safawi dalam merebut
wilayah kekuasaan Turki Utsmani banyak mengalami kemenangan. Permusuhan antara
dua Kerajaan aliran agama yang berbeda ini tidak pernah padam sama sekali.
Abbas I mengarahkan serangan-serangannya ke wilayah Kerajaan Turki Utsmani pada
tahun 1602 M. Disaat itu Turki Utsmani berada di bawah Sultan Muhammad III.
Pasukan Abbas I menyerang dan berhasil menguasai Tabriz, Sirwan, dan Baghdad.
Sedangkan Nakh Chivan, Erivan, Ganja, dan Tiflis dapat dikuasai tahun 1605-1606
M. Selanjutnya pada tahun 1622 M., Pasukan Abbas I berhasil merebut kepulauan
Hurmus dan mengubah pelabuhan Gumurun menjadi pelabuhan bandar Abbas (Yatim,
2010: 143). Jadi dapat disimpulkan bahwa keadaan politik kerajaan Safawi mulai
bangkit kembali setelah Abbas I naik tahta dari tahun 1587-1629 dan dia menata
administrasi negara dengan cara yang lebih baik. Langkah-langkah yang ditempuh
Abbas I dalam rangka memulihkan politik Kerajaan Safawi adalah:
a) Mengadakan
pembenahan administrasi dengan cara pengaturan dan pengontrolan dari pusat
b) Berusaha
menghilangkan dominasi pasukan Qiziblash atas Kerajaan Safawi dengan cara
membentuk pasukan baru yang anggotanya terdiri atas budak-budak yang berasal
dari tawanan perang bangsa Georgia, Armenia, dan Sircassia yang telah ada sejak
Raja Tamh I
c) Mengadakan
perjanjian damai dengan Turki Utsmani
d) Berjanji
tidak akan menghina tiga khalifah pada khotbah Jumat (Yatim, 2010: 142 )
Masa kekuasaan Abbas I merupakan
puncak kejayaan kerajaan Safawi. Secara politik dia mampu mengatasi berbagai
kemelut di dalam negeri yang mengganggu stabilitas negara dan berhasil merebut
kembali wilayah-wilayah yang pernah direbut oleh kerajaan lain di masa
raja-raja sebelumnya, dengan reformasi politiknya.
2. Kemajuan
di bidang keagamaan
Pada masa Abbas, kebijakan keagamaan
tidak lagi seperti masa khafilah-khafilah sebelumnya yang senantiasa memaksakan
agar Syi’ah menjadi agama negara, tetapi ia menanamkan sikap toleransi. Menurut
Hamka, terhadap politik keagamaan beliau Abbas tanamkam paham toleransi atau
lapang dada yang amat besar. Paham Syi’ah tidak lagi menjadi paksaan, bahkan
orang Sunni dapat hidup bebas mengerjakan ibadahnya, Bukan hanya itu saja,
pendeta-pendeta Nasrani diperbolehkan mengembangkan
ajaran agama dengan leluasa sebab sudah banyak bangsa Armenia yang telah
menjadi penduduk setia di kota Isfahan (Hamka, 1981: 70).
3. Kemajuan
di Bidang Ekonomi
Stabilitas politik Kerajaan Safawi
pada masa Abbas I ternyata telah memacu perkembangan perekonomian Safawi,
terlebih setelah kepulauan Hurmuz dikuasai dan pelabuhan Gumurun diubah menjadi
Bandar Abbas. Dengan dikuasainya bandar ini, salah satu jalur dagang laut
antara timur dan barat yang bisa diperebutkan oleh Belanda, Inggris, dan
Prancis sepenuhnya menjadi milik kerajaan Safawi (Yatim, 2010: 144) Di samping
sektor perdagangan, kerajaan Safawi juga mengalami kemajuan di sektor pertanian
terutama di daerah bulan sabit subur ( fortile crescent ) (Yatim, 2010: 144). bekal rohani.Kemerosotan
aspek kemiliteran ini sangat besar pengaruhnya terhadap lenyapnya ketahanan dan
pertahanan kerajaan Safawi.
Sering terjadi konflik intern dalam
bentuk perebutan kekuasaan dikalangan keluarga istana.(Yatim, 2010: 158-159)
Krisis abad 18 mengantarkan kepada berakhirnya sejarah Iran pramodern. Hampir
diseluruh wilayah muslim, periode pramodern yang berakhir dengan Intervensi,
penaklukan bangsa Eropa, dan dengan pembentukan beberapa rezim kolonial, maka
dalam hal ini konsolidasi ekonomi dan pengaruh politik bangsa Eropa telah
didahului dengan kehancuran Inperium Safawiyah dan dengan liberalisasi ulama.
Demikianlah, Rezim safawiyah telah meninggalkan warisan kepada Iran modern
berupa tradisi Persia perihal sistem kerajaan yang agung, yakni sebuah rezim
yang dibangun berdasarkan kekuatan uymaq atau unsur unsur kesukuan yang utama, dan mewariskan sebuah kewenangan keagamaan
syiah yang kohesif, monolitik dan mandiri. (Lapidus, 1999: 467)
C. KERAJAAN MUGHAL (INDIA)
a. Proses
Terbentuknya Kerajaan Mughal di India
Kerajaan Mughal berdiri seperempat
abad sesudah berdirinya Kerajaan Safawi. Jadi, di antara tiga keajaan besar
Islam tersebut kerajaan inilah yang termuda. Kerjaan Mughal bukanlah kerajaan
Islam pertama di anak Benua India. Awal kekuasaan Islam di wilayah India
terjadi pada masa Khalifah Al-Walid, dari dinasti Bani Umayah. Penaklukan
wilayah ini dilakukan oleh tentara Bani Umayah di bawah pimpinan Muhammad ibn
Qosim (Yatim, 2010: 145)
Kerajaan
Mughal di India dengan Delhi sebagai ibukota didirikan oleh Zaharuddin Babur
(1482-1530 M) , salah satu dari cucu Timur Lenk. Ayahnya bernama Umar Mirza
penguasa Ferghana. Babur mewarisi Ferghana dari ayahnya ketika berumur 11
Tahun. Pada tahun 1494 M, dia berhasil menduduki Samarkand yang menjadi kota
penting di Asia Tengah dengan bantuan dari Raja Safawi, Ismail I. Kemudian di
tahun 1504 M, Kota Kabul di Afghanistan berhasil diduduki. Setelah Kabul
berhasil ditaklukkan, Raja Babur melanjutkan ekspansinya ke India untuk melawan
raja Ibrahim Lodi sebagai penguasa India. Karena terjadi krisis pemerintahan di
India, hal ini menguntungkan pihak Babur. Dengan mengerahkan militernya
akhirnya pada tahun 1525 M, berhasil menaklukkan Punjab dengan ibukotanya
Lahore, dan di tahun 1526 M terjadilah pertempuran yang dahsyat antara pasukan
Ibrahim dengan Babur di Panipat, Babur berhasil memasuki kota Delhi pada
tanggal 21 April 1526, sebagai pemenang dan menegakkan pemerintahan dengan
mendirikan kerajaan Mughal di Delhi. (Yatim, 2010: 147).
b. Perkembangan
Dan Kemajuan Peradaban Kerajaan Mughal
Stabilitas
politik dan pemerintahan yang baik di masa raja Akbar membawa dampak bagi
kemajuan di berbagai bidang.
1. Kemajuan
di bidang Politik dan Sosial
Puncak kejayaan kerajaan Mughal
terjadi pada masa pemerintahan Putra Humayun, Akbar Khan (1556-1605 M). Sistem
Pemerintahan Akbar adalah militeristik. Akbar berhasil memperluas wilayah
sampai Kashmir dan Gujarat. Pejabatnya diwajibkan mengikuti latihan militer.
Politik Akbar yang sangat terkenal dan berhasil menyatukan rakyatnya adalah
Sulakhul atau toleransi universal. Dengan politik ini semua rakyat India
dipandang sama. Mereka tidak dibedakan etnis dan agamanya. (Yatim, 2010 : 150)
Sehingga di masa Akbar, kerajaan tidak dijalankan dengan kekerasan, ia banyak
menyatu dengan rakyat, bahkan rakyat dari berbagai agama tidak dipandangnya
sebagai orang lain. Amir-amir dan sultan-sultan Islam yang selama ini berkuasa
di daerahnya sendiri dengan cara kesewenang-wenangan bersama dengan para
maharaja beragama Brahmana, berkat Akbar semuanya telah menjadi tiang-tiang
bagi sebuah imperium Islam yang besar di Benua India. Di samping itu,
pemerintahan tidak dipegangnya sendiri, tetapi diadakannya menteri-menteri.
Kepada pemungut pajak diperintahkan dengan keras agar tidak memungut pajak
dengan memaksa dan memeras. Di dalam persoalan agama, beliau sangat toleran dan
bagi orang yang beragam Hindu dihormati oleh Akbar dan tidak dipaksa untuk
memeluk agama Islam (Hamka, 1981: 150).
Dengan demikian, Akbar adalah
seorang reformis Kerajaan Mughal yang telah menata pemerintahan dengan sistem
yang lebih baik dibanding dengan kerajaan-kerajaan sebelumnya. Di bidang agama,
ia adalah sebagai tokoh moderat yang memberikan kebebasan kepada pemeluknya
untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Dengan
adanya kebijakan seperti di atas, rakyat India sangat simpati kepadanya dan
kehidupan sosial masyarakat saling hormat - menghormati serta senantiasa
menjunjung tinggi toleransi.
§ Ada beberapa faktor yang menyebabkan kekuasaan dinasti
Mughal mundur dan membawa kepada kehancurannya pada tahun 1858 M yaitu ;
a) Terjadi
stagnasi dalam pembinaan kekuatan militer sehingga operasi militer Inggris di
wilayah-wilayah pantai tidak dapat segera dipantau oleh kekuatan maritim
Mughal.
b) Kemerosotan
moral dan hidup mewah di kalangan elite politik, yang mengakibatkan pemborosan
dalam penggunaan uang negara.
c) Pendekatan
Aurangzeb yang terlampau keras dalam melaksanakan syariat Islam tanpa adanya
toleransi antar umat beragama Islam dengan Hindu, sehingga konflik antaragama
sangat sukar diatasi oleh sultan-sultan sesudahnya.
d) Semua
pewaris tahta kerajaan pada paro terakhir adalah orang-orang lemah dalam bidang
kepemimpinan. ( Yatim, 2010: 163)
terima kasih ...
selamat membaca...........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar